Ketika sang Pribumi Lupa Jati Diri
Ketika sang
Pribumi Lupa Jati Diri
Man Jadda
wa jada (Barang siapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan berhasil). Bukan
merupakan sebuah hadits melainkan sebuah konsepsi kehidupan yang memiliki makna
kesungguhan menjadi penentu kesuksesan. Pada kesempatan ini, berhubung al faqir
asli The People of Javanese (Red : wong jowo) akan al faqir beberkan
kesungguhan kita dalam hal melestarikan budaya jawa.
Apa yang
terbesit dalam benak kita ketika mendengar kata Jawa ? Mungkin benak kita
langsung tertuju pada salah satu wilayah, budaya, ataupun bahasa yang ada di
bumi nusantara ini. Faktanya hal itu memang benar, tetapi perlu kita ketahui
bahwa jawa menjadi pusat peradaban dan kebudayaan di nusantara tidak secara
taken for granted (red : dari sononya), melainkan melalui proses yang sangat
panjang. Dari proses itulah terlahir berbagai macam budaya, kearifan lokal yang
khas, dan menjadi pelangi penghias dalam dinamika kehidupan kita. Kemajuan
zaman yang semakin canggih rupanya berimbas juga pada perkembangan kebudayaan
di Indonesia umumnya, dan budaya jawa pada khususnya. Di satu sisi menguntungkan
dan di sisi lain juga merugikan. Bagaimana tidak, tingkat kelestarian budaya
jawa saat ini berada dalam taraf memprihatinkan. Para generasi penerus
seolah-olah terjangkit krisis kebanggaan terhadap budaya sendiri. Mereka malu
untuk mempelajari apalagi melestarikan budaya peninggalan leluhurnya.
Selain itu, masuknya budaya barat yang bertolak
belakang dengan jati diri orang jawa menjadi penyebab lunturnya budaya jawa
dalam masyarakat saat ini. Alhasil, banyak budaya kita yang diklaim oleh negara
lain, salah satunya adalah kuda lumping yang diklaim sebagai kebudayaan asal Malaysia.
Bahkan belakangan ini kuda lumping digunakan Malaysia sebagai tema kostum dalam
ajang Miss Grand International.
Melihat
kenyataan itu, sungguh ini merupakan pukulan telak bagi kita sebagai orang
jawa. Kearifan lokal yang kita miliki, yang kita banggakan justru diklaim pihak
lain. Entah siapa yang salah dan harus bertanggung jawab atas problema ini.
Kini sudah saatnya kita sadar dan mencintai sekaligus melestarikan kebudayaan
yang telah diwariskan dari dulu, agar nilai-nilai kebudayaan yang telah ada
dapat diwariskan pada anak cucu kita. Dari sinilah dibutuhkan kesungguhan kita
sebagai generasi penerus. Jika generasi penerus tidak mengenal kebudayaan dari
bangsanya, niscaya dengan mudah kebudayaan tersebut akan diklaim oleh negara lain.
Sebagai
penutup artikel, akan al faqir sertakan sepenggal filosofi hidup orang jawa
yang dikemas dalam wujud sya’ir karangan Raden Mas Panji Sosrokartono
(1877-1952). Beliau adalah kakak dari R.A Kartini, kini beliau dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan Kaliputu, Kudus. Sya’ir tersebut berjudul sugeh tanpo
bondho.
Sugeh tanpo bondho (kaya
tanpa harta)
Digdoyo tanpo aji (berjaya tanpa kesaktian)
Nglurug tanpo bolo (menyerbu tanpa
pasukan)
Menang tanpo ngasorake (menang tanpa
merendahkan)
Trimah mawi pasrah (menerima
juga pasrah)
Suwung pamrih tebih adjrih (jika tanpa pamrih tak
perlu takut)
Langgeng tan ono susah tan ono bungah (tetap tenang walau suka atau duka)
Anteng manteng sugeng djeneng (Bersungguh-sungguh menjaga
nama baik)
Setelah
membaca dan meresapi esensi-esensi yang ada dalam sya’ir tersebut, diharapkan
mampu menumbuhkan kebanggaan dan kecintaan kita terhadap budaya jawa yang penuh
dengan kemuliaan, sehingga tumbuh rasa kesungguhan kita untuk memayu hayuning
bawana terutama dalam hal melestarikan budaya jawa. SALAM LESTARI...
Kudus, 20 Januari 2018
Alfan Muhyar Faza
Komentar
Posting Komentar