Pinjam Meminjam dalam hukum islam
PINJAM MEMINJAM DALAM
HUKUM ISLAM
A.
Pengertian
‘Ariyah/Pinjam Meminjam
Secara
etimologi Ariyah diambil dari kata ‘Aara’ yang berarti
datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat Ariyah berasal
dari kata At-Ta’aawuru yang sama artinya dengan At-Tanaawulu
au At-Tanaasubu yang berarti saling menukar dan mengganti dalam
konteks tradisi pinjam meminjam.
Secara terminologi syara’, ulama fiqih berbeda pendapat dalam
mendefinisikan‘Ariyah’, antara lain:
1.
Ibnu Rif’ah berpendapat, bahwa yang
dimaksud ‘Ariyah’ adalah kebolehan mengambil manfaat suatu
barang dengan halal serta tetap zatnya, supaya dapat dikembalikan kepada
pemiliknya.
2.
Menurut Hanafiah, ariah ialah
تمليك المنا فع مجا ن
" Memiliki manfaat secara
Cuma-Cuma.”
3. Menurut malikiah, ariah ialah
تمليك منفعة مؤ قتة لا بعو ض
“Memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan
tanpa imbalan.”
4. Menurut Syafi’iyah, ariah ialah
ابا حة الا نتفا ع من شخص فيه اهلية التبر ع بما يحن الا
نتفا ع به مع بقاء عينه ليرده على المتبرع
“Kebolehan mengambil manfaat dari seseorang yang
membebaskanya, apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya
supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.”
5. Menurut Hanabilah ariyah ialah
ابا حة نفح العين بغير عوض من المستعر او بغيره
“kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan
dari peminjam atau yang lainnya.”
6. Amir Syarifuddin berpendapat,
bahwa ‘Ariyah’ adalah transaksi atas manfaat suatu barang
tanpa imbalan, dalam arti sederhana ‘Ariyah’ adalah
menyerahkansuatu wujud barang untuk dimanfaatkan orang lain tanpa adanya
imbalan.
B.
Dasar
Hukum ‘Ariyah
Menurut Sayyid Sabiq, pinjam meminjam [ariyah]
adalah sunnah. Sedangkan menurut al-Ruyani,sebagaimana dikitip oleh Taqiy
al-Din, bahwa ariyah hukumnya wajib ketika awal islam.Adapun landasan hukumnya
dari nash alquran ialah :
وتعا ونوا على البر والتقوى ولا تعا ونوا على الا ثم
والعدوان ( الما ئدة :٢ )
"Dan tolong menolonglah
kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong menolong untuk
berbuat dosa dan permusuhan.” [Al-Maidah:2]
Sebagaimana
halnya bidang-bidang lain, selain al-quran landasan hukum yang kedua ialah
Al-Hadis, dalam landasan ini, ariyah dinyatakan sebagai berikut:
ادالآ ما نة الى من ائتمنك ولا تخن من
خانك ( رواه أبو داود )
“Sampaikanlah amanat orang yang memberikan
amanat kepadamu dan janganlah kamu khianat sekalipun dia khianat kepadamu”
[Dikeluarkan oleh Abu Dawud].
C.
Rukun dan
Syarat-Syarat ‘Ariyah
‘Ariyah sebagai sebuah tekad
atau transaksi, sudah tentu perlu adanya unsur-unsur yang mesti ada, yang
menjadikan perbuatan itu dapat terwujud sebagai suatu perbuatan hukum. Dalam
hal ini sudah pasti ada beberapa rukun yang harus dipenuhi.[9]
Secara umum, jumhur ulama fiqih
menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat, yaitu:
1. Orang yang meminjamkan
atau Mu’ir.
2. Orang yang meminjam
atau Musta’ir.
3. Barang yang dipinjam
atau Mu’ar.
4. Lafal atau sighat
pinjaman atau sighat‘ariyah.
Syarat-syarat ‘ariyah:
a. Muir berakal sehat
Dengan demikian, orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat
meminjamkan barang.
b. Pemegang barang oleh
peminjam
Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegang
barang adalah peminjam, seperti halnya dalam hibah.
c. Barang (musta’ar)
Dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya, jika musta’ar tidak
dapat dimanfaatkan, akad tidak sah.
D.
Pembayaran Pinjaman
dan Tanggung Jawab Peminjam
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang
lain berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang (mu’ir).
Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar
utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk aniaya. Perbuatan aniaya
termasuk suatu perbuatan dosa. Rasulullah bersabda:
فان من خير كم أحسنكم قضاء
“Sesunggguhnya di antara orang yang terbaik dari
kamu adalah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar utang.” [Riwayat Bukhari
dan Muslim].
Bila peminjam telah memegang barang-barang
pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik
karena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya. Demikian menurut
Ibn Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syafi’i, dan Ishaq dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Samurah, Rasulullah SAW bersabda:
علي اليد ما أ خد ت حتى تو د ي
“Pemegang berkewajiban menjaga apa yang ia terima,
hingga ia mengembalikannya”.
E.
Tata Krama Berhutang
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan
dalam pinjam meminjam atau utang piutang tentang nilai nilai sopan-santun yang
terikat di dalamnya, ialah sebagai berikut:
a. Sesuai dengan Qs Al-Baqarah 282,
utang-piutang supaya dikuatkakan dengan tulisan dari pihak berutang dengan
disaksikan dua orang saksi laki-laki atau dengan seorang saksi laki-laki dengan
dua orang saksi wanita. Untuk dewasa ini tulisan tersebut dibuat di atas kertas
bersegel atau bermaterai.
b. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanyakeutuhan
yang nendesak di sertai niat dalam hati akan membayarnya/mengmbalikannya.
c. Pihak berpiutang hendaknya berniat
memberikan pertolongan kepada pihak berhutang. Bila yang meminjam tidak mampu
mengembalikan, maka yang berpiutang hendaknya membebaskannya.
d. Pihak yang berutang bila sudah mampu
membayar pinjaman hendaknya dipercepat pembayaran utangnya karena
lalai dalam pembayaran pinjaman berarti berbuat zalim.
F. Berakhirnya Akad Ariyah
Ariyah berakhir disebabkan
oleh sebagai berikut:
1. Salah satu pihak
menjadi tidak lagi cakap hukum melakukan akad ariyah.
2. Diketahui bahwa salah
satu pihak atau kedua belah pihak tidak tasharruf.
3. Adanya penipuan
terhadap keadaan barang.
4. Barang dikendalikan
oleh yang meminjam.
G.Meminjam Pinjaman dan Menyewakanya
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa peminjam boleh
meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum
mengizinkannya jika penggunaannya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan
tujuan pemakaian pinjaman. Menurut madzhab Hambali, peminjam boleh memanfaatkan
barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan statusnya selama peminjaman
berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut
Hambaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizin pemilik barang.
Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman
tersebut kepada orang lain, kemudian rusak ditangan kedua, maka pemilik berhak
meminta jaminan kepada salah seorang diantara keduanya. Dalam keadaan seperti
ini, lebih baik pemilik barang meminta jaminan kepada pemilik kedua karena
dialah yang memegang ketika barang itu rusak.
Kesimpulan
Sebagai manusia
kita tidak akan pernah dipisahkan dengan yang namanya ‘ariyah. Karena semua yang kita butuhkan itu tidak
semuanya memilikinya. Oleh karena itulah maka adanya pinjam-meminjam atau
‘ariyah.
Apabila barang yang dipinjam itu rusak, selama
dimanfaatkan sebagaimana fungsinya, si peminjam tidak diharuskan mengganti,
Sebab pinjam-meminjam itu sendiri berarti saling percaya- mempercayai. Akan tetapi kalau kerusakan barang yang dipinjam
akibat dari pemakaian yang tidak semestinya atau oleh sebab lain, maka wajib
menggantinya. Shofwan bin Umaiyah menginformasikan, Sesungguhnya Nabi saw.
telah meminjam beberapa baju perang dari shofwan pada waktu Perang Hunain.
Shofwan bertanya: "Paksaankah, ya Muhammad?" Rosulullah saw.
menjawab: "Bukan, tetapi pinjaman yang dijamin". Kemudian (baju
perang itu) hilang sebagian, maka Rosulullah saw. mengemukakan kepada shofwan
akan menggantinya. Shofwan berkata: "Saya sekarang telah mendapat kepuasan
dalam Islam." (HR. Ahmad dan Nasai).
Komentar
Posting Komentar